Sidang Sengketa Pers di Unaaha: Kasus Pencemaran Nama Baik Picu Kontroversi Kebebasan Pers
KENDARI, ANOANEWS.COM – Sidang sengketa pers di Pengadilan Negeri (PN) Unaaha, Kabupaten Konawe, Provinsi Sulawesi Tenggara, terkait dengan kasus dugaan pencemaran nama baik oleh wartawan terhadap mantan Kepala Desa Tanjung Laimeo, Kabupaten Konawe Utara, menimbulkan kekecewaan dan dianggap diskriminatif.
Wartawan dengan inisial EL dijerat dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) setelah mempublikasikan link berita di akun Facebook pribadinya, sebuah tindakan yang kini memicu kontroversi dan pertanyaan mengenai kebebasan pers.
Kasus yang telah lama terhenti di meja penyidik Polda Sultra dan kemudian dipaksakan untuk naik ke persidangan ini mendapat sorotan tajam dari berbagai lembaga, termasuk Ketua Lembaga Investigasi Negara Sulawesi Tenggara dan Ketua Persatuan Jurnalis Indonesia Sulawesi Tenggara, yang menilai proses hukum yang berlangsung sebagai tidak rasional dan penuh diskriminasi.
Menurut Adyans, Ketua Lembaga Investigasi Negara Sultra, kasus ini merupakan bentuk serius pembungkaman terhadap kebebasan pers. Ia menegaskan, berita yang ditulis EL adalah berdasarkan fakta dari narasumber dan Sistem Informasi Desa (SID), sehingga seharusnya tidak bisa dipertanyakan lagi kebenarannya. Adyans mengkritik keras pihak aparat penegak hukum yang dinilai tidak profesional dalam memahami fakta di lapangan serta keanehan dalam proses hukum yang terjadi.
Di sisi lain, Agus Salim P., Ketua Persatuan Jurnalis Indonesia Sulawesi Tenggara, menegaskan putusan tersebut tidak adil dan tidak mendasar, menyoroti bahwa kasus ini telah menjadi sorotan luas karena dianggap sebagai upaya diskriminasi dan pembungkaman terhadap kemerdekaan pers. EL, yang dilaporkan karena berita tentang dugaan korupsi, dianggap telah menjalankan tugasnya sesuai dengan etika jurnalisme dan memiliki legalitas yang sah. Agus Salim menantang keputusan majelis hakim yang menjatuhkan vonis enam bulan penjara kepada EL, menyerukan agar keputusan tersebut dikaji ulang.
Kasus ini menarik perhatian tidak hanya dari komunitas pers lokal tapi juga mengingatkan pada pentingnya perlindungan kebebasan pers sebagai pilar demokrasi. Berkaitan dengan hal ini, pernyataan pejabat tinggi kepolisian sebelumnya tentang produk jurnalistik yang sah dan tidak dapat dijerat dengan UU ITE menambah kompleksitas pada debat tentang batas-batas pemberitaan dan kebebasan pers.
Sengketa ini tidak hanya tentang nasib dua wartawan tetapi juga tentang masa depan kebebasan pers di Indonesia, mendorong debat lebih lanjut tentang bagaimana undang-undang dan proses hukum dapat mempengaruhi jurnalisme dan demokrasi. Dengan rencana konsolidasi oleh berbagai lembaga dan organisasi masyarakat setelah lebaran, kasus ini diprediksi akan terus menjadi topik panas dalam diskusi tentang keadilan, kebebasan, dan integritas dalam pemberitaan di Indonesia.(Red)